Rabu, 19 Mei 2010

Gaya Hidup Perkotaan


BELANJA bukan monopoli kaum perempuan. Para pria atau siapa pun akan berbelanja bila ia butuh sesuatu. Belanja menjadi identik dengan perempuan ketika sudah mengarah pada kebiasaan mengejar sale atau diskon. Tidak banyak kaum pria yang berkecenderungan mengejar obral atau diskon dibandingkan dengan kaum perempuan. Para pria, cenderung belanja sesuai dengan kebutuhan.

Psikolog Klinik Psikologi RS Al Islam Dra. Selly Mahliyani, M.Psi mengatakan, tren berbelanja memang selalu meningkat setiap menjelang akhir tahun seperti ini. Kendati begitu, adakalanya belanja tidak identik dengan mengejar potongan harga akhir tahun, tetapi sudah menjadi kebiasaan (candu) tertentu bagi seseorang.

Kebiasaan belanja mengejar diskon akhir tahun menurut Selly merupakan bagian dari gaya hidup perkotaan yang mengarah pada gaya hidup konsumtif. Seseorang membeli banyak barang hanya untuk memenuhi kepuasan. Padahal, belum tentu barang-barang tersebut diperlukan.

Belanja dan mengejar diskon menurut Selly masih tergolong wajar. Toh setiap individu pasti punya kebutuhan, dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut orang ingin mendapatkan harga terbaik dengan barang terbaik pula.

Belanja atau memburu diskon dapat dikatakan sudah tidak normal, bila dilakukan karena adanya dorongan di luar belanja. Misalnya saja, stres yang peiariannya terhadap belanja. "Kalau sudah begini, belanja bukan fokus tetapi penyerta saja dari persoalan yang sesungguhnya," ujar Selly.

Kecanduan belanja pada tingkat normal, tidak perlu dikhawatirkan, toh pada saat uang sudah tidak ada, orang tidak akan terus berbelanja. Yang parah, bila uang cash sudah tidak ada, orang lari pada kartu kredit. Kalau satu kartu kredit sudah tidak mencukupi dan lari kepada banyak kartu kredit berikut, keadaan tersebut sudah menjadi masalah.

"Jadi penyembuhan orang gila belanja adalah kembali pada dirinya. Apa sebetulnya persoalan yang ada dalam benak orang tersebut," ujar Selly. Bila pemicunya sudah ditemukan, bisanya tidak akan lagi lagi meninggalkan kebiasaan belanja yang tidak jelas juntrungannya. "Saya sebut demikian karena seorang yang gila belanja biasanya sudah tidak jelas lagi apa yang dibelinya. Semua dibeli padahal saat sampai di rumah, semua barang itu tidak diperlukan. Kebiasaan belanja seperti ini yang harus diwaspadai," ujarnya.

Tidak ada terapi khusus yang dapat membantu mengembalikan seorang yang gila belanja untuk kembali normal, kecuali dicari dulu akar permasalahan yang menjadi penyebabnya. Atau alihkan perhatian dari keinginan terus berbelanja kepada aktivitas lain seperti olahraga, kesenian, kesehatan, sosial, dll. Dengan demikian, keinginan untuk menghambur-hamburkan uang untuk belanja dapat lebih direm.

Namun begitu, Selly menekankan pentingnya tekad bulat seseorang untuk berubah. Kalau dia hanya ingin pamer, menjadi bagian dari euphoria diskon, atau untuk kepuasan tertentu, Selly menyarankan segera menghentikannya. Sebab, mengejar gaya hidup seperti itu mahal. Bukan saja dari sisi materi tetapi juga nonmateri yang menyangkut ketenangan batin. Seseorang yang gila belanja baru akan puas dan merasa terselesaikan stresnya jika belanja. Padahal, cara-cara seperti itu hanya sesuatu yang "kosong" yang nantinya justru kembali lagi pada kebiasaan sama.

Mengejar diskon ataupun sale akhir tahun, wajar-wajar saja. Asalkan dengan perhitungan rasio yang benar. Sebab, adakalanya justru barang-barang yang diobral itu adalah barang-barang harganya dinaikkan terlebih dahulu.

"Jadi suka hati-hati dan tetap menjaga karakter serta hawa nafsu, saya kira akan menjadi sahabat terbaik saat Anda sedang berbelanja," ujarnya. (Eriyanti/"PR")*" SEORANG pengunjung memilih celana di salah satu toko di Jln. Cihampelas, Kota Bandung

0 komentar:

Posting Komentar